Golkar

Golkar

Kamis, 25 Agustus 2016

WONOGIRI DALAM RENTANG JAMAN (Bagian-2)

WONOGIRI DALAM RENTANG JAMAN 
(Bagian-2)


Daerah yang dituju Raden Mas Said pada masanya adalah Dusun Nglaroh (wilayah Kecamatan Selogiri), dan disana Raden Mas Said menggunakan sebuah batu untuk menyusun strategi melawan ketidakadilan. Batu ini dikemudian hari dikenal sebagai Watu Gilang yang merupakan tempat awal mula perjuangan Raden Mas Said dalam melawan ketidakadilan dan segala bentuk penjajahan. Bersama dengan pengikut setianya, dibentuklah pasukan inti kemudian berkembang menjadi perwira-perwira perang yang mumpuni dengan sebutan Punggowo Baku Kawandoso Joyo. Dukungan dari rakyat Nglaroh kepada perjuangan Raden Mas Said juga sangat tinggi yang disesepuhi oleh Kyai Wiradiwangsa yang diangkat sebagai Patih. Dari situlah awal mula suatu bentuk pemerintahan yang nantinya menjadi cikal bakal Kabupaten Wonogiri.



Foto : Prasasti Nglaroh Lokasi: Kaliancar, Kec. Selogiri via http://satriadhiwijaya.blogspot.co.id/



Foto : PRASASTI WATU GILANG NGLAROH Lokasi: Kaliancar, Kec. Selogiri via http://satriadhiwijaya.blogspot.co.id/

Dalam mengendalikan perjuangannya, Raden Mas Said mengeluarkan semboyan yang sudah menjadi ikrar sehidup semati yang terkenal dengan sumpah “Kawulo Gusti” atau “Pamoring Kawulo Gusti” sebagai pengikat tali batin antara pemimpin dengan rakyatnya, luluh dalam kata dan perbuatan, maju dalam derap yang serasi bagaikan keluarga besar yang sulit dicerai-beraikan musuh. Ikrar tersebut berbunyi “Tiji tibeh, Mati Siji Mati Kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh”. Ini adalah konsep kebersamaan antara pimpinan dan rakyat yang dipimpin maupun sesama rakyat.



Foto : Prasasti Nglaroh PRASASTI WATU GILANG NGLAROH Lokasi: Kaliancar, Kec. Selogiri via http://satriadhiwijaya.blogspot.co.id/

Raden Mas Said juga menciptakan suatu konsep manajemen pemerintahan yang dikenal sebagai Tri Darma yaitu :
  1. Mulat Sarira Hangrasa Wani, artinya berani mati dalam pertempuran karena dalam pertempuran hanya ada dua pilihan hidup atau mati. Berani bertindak menghadapi cobaan dan tantangan meski dalam kenyataan berat untuk dilaksanakan. Sebaliknya, disaat menerima anugerah baik berupa harta benda atau anugerah lain, harus diterima dengan cara yang wajar. Hangrasa Wani, mau berbagi bahagia dengan orang lain.
  2. Rumangsa Melu Handarbeni, artinya merasa ikut memiliki daerahnya, tertanam dalam sanubari yang terdalam, sehingga pada akhirnya pada akhirnya akan menimbulkan perasaan rela berjuang dan bekerja untuk daerahnya. Merawat dan melestarikan kekayaan yang terkandung didalamnya.
  3. Wajib Melu Hangrungkebi, artinya dengan merasa ikut memiliki timbul kesadaran untuk berjuang hingga titik darah penghabisan untuk tanah kelahirannya.
Kegigihan Raden Mas Said dalam memerangi musuh-musuhnya sudah tidak diragukan lagi, bahkan hanya dengan prajurit yang jumlahnya sedikit, tidak akan gentar melawan musuh.
Raden Mas Said merupakan panglima perang yang mumpuni, terbukti selama hidupnya sudah melakukan tidak kurang 250 kali pertempuran dengan tidak menderita kekalahan yang berarti. Dari sinilah Raden Mas Said mendapat julukan “Pangeran Sambernyawa” karena dianggap sebagai penebar maut (Penyambar Nyawa) bagi siapa saja musuhnya pada setiap pertempuran.

Pada tahun 1775 M, Kasunanan Surakarta telah jatuh di tangan kolonial Belanda dengan berdirinya Benteng Vasternburg di dekat keraton. Wonogiri juga sedikit banyak berpengaruh dengan keberadaan Penjajahan tersebut. Di bawah perintah Mangkunegara I, Kabupaten Wonogiri selalu giat melawan kolonial Belanda. Raden Mas Said memerintah selama kurang lebih 40 tahun dan wafat pada tanggal 28 Desember 1795. Setelah Raden Mas Said meninggal dunia, kekuasaan trah Mangkunegaran diteruskan oleh putra-putra beliau.

Berkat keuletan dan ketangguhan Raden Mas Said dalam taktik pertempuran dan bergerilya sehingga luas wilayah perjuangannya meluas meliputi Ponorogo, Madiun dan Rembang bahkan sampai daerah Yogyakarta. Pada akhirnya atas bujukan Sunan Paku Buwono III, Raden Mas Said bersedia diajak ke meja perundingan guna mengakhiri pertempuran.

Dalam perundingan yang melibatkan Sunan Paku Buwono III, Sultan Hamengkubuwono I dan pihak Kompeni Belanda, disepakati bahwa Raden Mas Said mendapat daerah kekuasaan dan diangkat sebagai Adipati Miji atau mandiri bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegoro I. 

Penetapan wilayah kekuasaan Raden Mas Said terjadi pada tanggal 17 Maret 1757 melalui sebuah perjanjian di daerah Salatiga. Kedudukannya sebagai Adipati Miji sejajar dengan kedudukan Sunan Paku Buwono III dan Sultan Hamengkubuwono I dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Keduwang (daerah Wonogiri bagian timur), Honggobayan (daerah timur laut Kota Wonogiri sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo Kabupaten Karanganyar), Sembuyan (daerah sekitar Wuryantoro dan Baturetno), Matesih, dan Gunung Kidul.

KGPAA Mangkunegoro I membagi wilayah Kabupaten Wonogiri menjadi 5 (lima) daerah yang masing-masing memiliki ciri khas atau karakteristik yang digunakan sebagai metode dalam menyusun strategi kepemimpinan, yaitu :
  1. Daerah Nglaroh (wilayah Wonogiri bagian utara, sekarang masuk wilayah kecamatan Selogiri). Sifat rakyat daerah ini adalah Bandol Ngrompol yang berarti kuat dari segi rohani dan jasmani, memiliki sifat bergerombol atau berkumpul. Karakteritik ini sangat positif dalam kaitannya untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Rakyat di daerah Nglaroh juga bersifat pemberani, suka berkelahi, membuat keributan akan tetapi jika bisa memanfaatkan potensi rakyat Nglaroh bisa menjadi kekuatan dasar yang kuat untuk perjuangan.
  2. Daerah Sembuyan (wilayah Wonogiri bagian selatan sekarang Baturetno dan Wuryantoro), mempunyai karakter sebagai Kutuk Kalung Kendho yang berarti bersifat penurut, mudah diperintah pimpinan atau mempunyai sifat paternalistik.
  3. Daerah Wiroko (wilayah sepanjang Kali Wiroko atau bagian tenggara Kabupaten Wonogiri sekarang masuk wilayah Kecamatan Tirtomoyo). Masyarakat didaerah ini mempunyai karakter sebagaiKethek Saranggon, mempunyai kemiripan seperti sifat kera yang suka hidup bergerombol, sulit diatur, mudah tersinggung dan kurang memperhatikan tata krama sopan santun. Jika didekati mereka kadang kurang mau menghargai orang lain, tetapi jika dijauhi mereka akan sakit hati.Istilahnya gampang-gampang susah.
  4. Daerah Keduwang (wilayah Wonogiri bagian timur) masyarakatnya mempunyai karakter sebagaiLemah Bang Gineblegan. Sifat ini bagai tanah liat yang bisa padat dan dapat dibentuk jika ditepuk-tepuk. Masyarakat daerah ini suka berfoya-foya, boros dan sulit untuk melaksanakan perintah. Akan tetapi bagi seorang pemimpin yang tahu dan paham karakter sifat dan karakteristik mereka, ibarat mampu menepuk-nepuk layaknya sifat tanah liat, maka mereka akan mudah diarahkan ke hal yang bermanfaat.
  5. Daerah Honggobayan (daerah timur laut Kota Wonogiri sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo Kabupaten Karanganyar) mempunyai karakter seperti Asu Galak Ora Nyathek. Karakteristik masyarakat disini diibaratkan anjing buas yang suka menggonggong akan tetapi tidak suka menggigit. Sepintas dilihat dari tutur kata dan bahasanya, masyarakat Honggobayan memang kasar dan keras menampakkan sifat sombong dan congkak serta tinggi hati, dan yang terkesan adalah sifat kasar menakutkan. Akan tetapi mereka sebenarnya baik hati, perintah pimpinan akan dikerjakan dengan penuh tanggungjawab.
Dengan memahami karakter daerah-daerah tersebut, Raden Mas Said menerapkan cara yang berbeda dalam memerintah dan mengendalikan rakyat diwilayah kekuasaannya, menggali potensi yang maksimal demi kemajuan dalam membangun wilayah tersebut. Raden Mas Said memerintah selama kurang lebih 40 tahun dan wafat pada tanggal 28 Desember 1795. Setelah Raden Mas Said meninggal dunia, kekuasaan trah Mangkunegaran diteruskan oleh putra-putra beliau. 

Wonogiri kala itu merupakan daerah Kawedanan (onderregent) di bawah Praja Mangkunegaran yang dipimpin oleh seseorang dengan gelar jabatan Wedono Gunung. Pemerintahan masa itu pun masih terbilang sederhana, dengan dua titik berat, yakni reh jero (urusan dalam) dan reh njobo(urusan luar).

Pada Masa Cultuur Stelsel Pada masa tanam paksa, Pemerintah Hidia-Belanda membangun jalur rel kereta api Semarang – Surakarta (110 Km) pada tanggal 10 Februari 1870. Hal ini merupakan salah satu cara agar pengangkutan hasil bumi ke Kota Semarang semakin lancar. Terkait dengan hal tersebut, Wonogiri banyak menyumbangkan hasil buminya kepada kasunanan Surakarta untuk diserahkan kepada Pemerintah Hindia-Belanda. Sementara itu pengangkutan kayu dari Wonogiri menuju Solo masih menggunakan cikar yang ditarik kuda atau sapi. Jalur kereta api (KA) antara Solo-Wonogiri sendiri baru dibangun pada tanggal 1 April 1923 dan kemudian dioperasikan oleh Netherlands Indische Spoorwage (NIS) sebuah perusahaan swasta Pemerintah Hindia Belanda. Panjang jalur 33 kilometer, sebagian darinya melintas di tengah Kota Solo. Kereta api Bengawan Wonogiri atau yang lebih dikenal dengan Kereta Feeder Wonogiri. Kereta ini lebih difungsikan untuk kereta penumpang dengan stasiun yang terletak di Giripurwo, Wonogiri, Wonogiri dan berketinggian +144 m dpl. 

Pada masa kekuasaan KGPAA Mangkunegara VII terjadi peristiwa penting sekitar tahun 1923 M yakni perubahan status daerah Wonogiri yang dahulu hanya berstatus Kawedanan menjadi Kabupaten. Saat itu Wedana Gunung Ngabehi Warso Adiningrat diangkat menjadi Bupati Wonogiri dengan pangkat Tumenggung Warso Adiningrat. Akibat perubahan status ini, wilayah Wonogiri pun dibagi menjadi 5 Kawedanan yaitu Kawedanan Wonogiri, Wuryantoro, Baturetno, Jatisrono dan Purwantoro.

Jabatan Wedono Gunung Wonogiri pertama dijabat oleh Raden Ngabehi Joyosudarso sejak tahun 1847.Kini makam Wedono Gunung pertama ini kita jumpai di Dusun Ambarwangi, Desa Wonoharjo Kecamatan Nguntoronadi.

Kemudian tahun 1875, atas permohonan R.NG. Joyosudarso wilayah Wonogiri dibagi menjadi dua yakni, Kawedanan Gunung Wonogiri dan Kawedanan Gunung Baturetno. Kawedanan Gunung Wonogiri sendiri meliputi wilayah Keduang, Honggobayan dan Nglaroh. Wilayah ini dipegang anak tertuanya yakni R.NG.Djoyosaronto.

Lalu, wilayah Kawedanan Gunung Baturetno tampuk pimpinannya dipegang oleh R.NG. Djoyohandoyo. Wilayahnya meliputi, Wiroko, Sembuyan, Ngawen.

Namun di masa kepemimpinan Raden Mas Ngabehi Tjitrodipuro (1892-1900), dua wilayah tadi digabungkan kembali menjadi Kawedanan Gunung Wonogiri. Hingga 1903 terjadi penghapusan jabatan Panekaring Wedono Gunung, kemudian Tjitrodipuro sendiri dilantik sebagai Bupati Patih di Praja Mangkunegaran dan bergelar Raden Mas Ngabehi Brotodipuro.

Sedang jabatan yang ditinggalkan, diganti oleh Raden Mas Ngabehi Haryokusomo (Eyang dari Ibu Tien Suharto) sampai tahun 1916. Kemudian dijabat oleh Raden Mas Tumenggung Warso Adiningrat.

Tanggal 19 November 1917 merupakan momen penting, dimana didalam tetedakan KGPAA Mangkunegara VII, status Wonogiri diubah menjadi kabupaten. Jabatan bupati Wonogiri pertama didaulat oleh Raden Mas Tumenggung Warso Adiningrat.

Status pemerintahan Wonogiri pun diubah menjadi lima kawedanan, yakni Kawedanan Wonogiri, Wuryantoro, Baturetno, Jatisrono dan Purwantoro. Walau tidak dianut secara resmi, setelah kemerdekaan, sistem pembagian wilayah ini masih dianut.

Pada masa kekuasaan KGPAA Mangkunegara VII terjadi peristiwa penting sekitar tahun 1923 M yakni perubahan status daerah Wonogiri yang dahulu hanya berstatus Kawedanan menjadi Kabupaten. Saat itu Wedana Gunung Ngabehi Warso Adiningrat diangkat menjadi Bupati Wonogiri dengan pangkat Tumenggung Warso Adiningrat. Akibat perubahan status ini, wilayah Wonogiri pun dibagi menjadi 5 Kawedanan yaitu Kawedanan Wonogiri, Wuryantoro, Baturetno, Jatisrono dan Purwantoro.

Masa Politik Etis Untuk kepentingan pendidikan, pada tahun 1927 pemerintah Hindia-Belanda juga mendirikan sekolah di Wonogiri. Sejak pemerintahan Belanda menerapkan politik Etis banyak sekolah mulai didirikan, walaupun sekolah-sekolah tersebut tidak sebanding dengan jumlah anak usia sekolah. Sekolah-sekolah yang didirikan adalah untuk kepentingan kolonial, baik kepentingan dalam bidang politik, ekonomi maupun administrasi. Jadi sama sekali tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Pada awalnya didirikan Sekolah Bumi Putra bagi para priyayi. Sekolah bumiputra Kelas Satu kelak menjadi Holands Inlandse School (HIS). Namun anak keluaran HIS pada umumnya tidak dapat diterima di sekolah yang lebih tinggi tingkatannya dalan hal ini MULO karena kurang kepandaiannya, teutama mengenai Bahasa Belanda.

Pada saat itu di wilayah kekuasaan Mangkunegaran dilakukan penghematan anggaran keraton dengan menghapuskan sebagian wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Karanganyar sehingga wilayah Mangkunegaran manjadi dua yaitu Kabupaten Mangkunegaran dan Kabupaten Wonogiri. Ini berlangsung sampai tahun 1946. Sebelum masa kemerdekaan, ada empat nama bupati Wonogiri yakni, Kanjeng Raden Mas Tumenggung Warso Adiningrat, Mas Tumenggung Warsodiningrat, Raden Ngabehi Joyowirono dan Kanjeng Raden Tumenggung Harjowiratmo.

Dalam perkembangannya, rakyat Wonogiri pada masa pendudukan Jepang dan tentara sekutu, bersama-sama dengan rakyat Indonesia pada umumnya tidak bisa dilepaskan dari penderitaan dan kekejaman penjajahan. Rakyat Wonogiri bersama dengan rakyat Indonesia tergugah dan bersatu padu melawan segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh bangsa Belanda maupun Jepang. Semangat pemuda Wonogiri yang tidak kenal menyerah dan ulet seakan telah menjadi karakter tersendiri dalam berjuang memperbaiki nasib dan taraf kehidupan.

Sejak Republik Indonesia merdeka, tanggal 17 Agustus 1945 sampai tahun 1946 di wilayah Mangkunegaran terjadi dualisme pemerintahan, yaitu Kabupaten Wonogiri masih dalam wilayah monarki Mangkunegaran dan di lain pihak menginginkan Kabupaten Wonogiri masuk dalam sistem demokrasi Republik Indonesia. Timbulah gerakan Anti Swapraja yang menginginkan Wonogiri keluar dari sistem kerajaan Mangkunegaran. Akhirnya disepakati bahwa Kabupaten Wonogiri tidak menghendaki kembalinya Swapraja Mangkunegaran. Sejak saat itu Kabupaten Wonogiri mempunyai status seperti sekarang, dan masuk sebagai Kabupaten yang berada diwilayah Propinsi Jawa Tengah. 

Sekitar tahun 1948, ada usaha penjajah Belanda ingin berkuasa kembali dengan cara mengirimkan pasukan lengkap dengan persenjataannya, ke wilayah Surakarta selatan untuk menguasai Kabupaten Sukoharjo dan Wonogiri. Menyikapi manuver tentara Belanda itu, sejumlah pejuang TRI berinisiatif memasang tiga buah track bom di ketiga dasar tiang jembatan agar jembatan hancur, agar tentara Belanda tidak dapat melaju ke Wonogiri. Tapi skenario peledakan jembatan tidak berjalan sesuai rencana. Karena hanya satu bom yang terpasang di tengah yang meledak. Dua bom lainnya, di tiang jembatan sisi utara dan selatan, gagal meledak. Jembatan Nguter rusak di bagian tengahnya. Hal ini cukup menghambat laju pernyusupan tentara Belanda ke Wonogiri. Meskipun kemudian, Belanda menempuh cara melintasi Bengawan Solo dengan meniti jembatan kereta api (KA), dan berupaya memperbaiki bagian tengah jembatan Nguter yang rusak oleh ledakan bom. Selesai perbaikan, kemudian dicoba untuk lewat. Tapi dua tank tempur Belanda berserta kelengkapan amunisinya, terjerumus ke dasar sungai Bengawan Solo. Dua tank tempur itu tidak dapat diangkat ke atas karena terbenam lumpur.



Foto : Tentara KNIL sedang melintas di jalur kereta api ketika hendak menuju Wonogiri-Pacitan tahun 1949 via http://www.geheugenvannederland.nl/




Foto :Konvoi tentara KNIL yang sedang beristirahat melintas di wilayah Wonogiri tahun 1949 via http://www.geheugenvannederland.nl/




Foto :Konvoi tentara KNIL yang sedang melintas di wilayah Wonogiri tahun 1949 via http://www.geheugenvannederland.nl/




Foto :Tentara KNIL yang sedang melintas di wilayah Wonogiri tahun 1949 via http://www.geheugenvannederland.nl/



Foto :Konvoi tentara KNIL yang sedang melintas di wilayah Wonogiri tahun 1949 via http://www.geheugenvannederland.nl/



Menurut buku Sejarah Terjadinya Pemerintahan Wonogiri, daerah pertama yang disinggahi Jenderal Sudirman adalah Kecamatan Pracimantoro. Untuk menyembunyikan identitasnya, Jenderal Sudirman menggunakan nama samaran Pak De.



Gambar : Peta Gerilya Jenderal Sudirman yang Melintas di WIlayah Wonogiri


Setelah singgah di Pracimantoro, Jenderal Sudirman bertolak ke arah utara menuju Kecamatan Wonogiri Kota (Sekarang). Namun ketika tiba di Kecamatan Wonogiri, Jenderal Sudirman mendapat kabar bahwa tentara Belanda sudah bergerak sampai jembatan Nguter, Sukoharjo. Untuk menhindari serbuan Belanda, Jenderal Sudirman melanjutkan perjalananya ke arah timur menuju Kabupaten Ponorogo melewati Kecamatan Jatisrono dan Purwantoro.



Foto : Gerliya Jenderal Sudirman via https://en.wikipedia.org/


Jenderal Soedirman dan pasukan melewati daerah membentang antara Yogyakarta, Panggang, Wonosari, Pracimantoro, Wonogiri, Purwantoro, Ponorogo, Sambit, Trenggalek, Bendorejo, Tulungagung, Kediri, Bajulan, Girimarto, Warungbung, Gunungtukul, Trenggalek (lagi), Panggul, Wonokarto dan Sobo (memimpin gerilya selama 3 bulan, 28 hari). Baru kemudian dari Sobo menuju Yogyakarta melewati Baturetno, Gajahmungkur, Pulo, Ponjong, Piyungan, Prambanan dan baru pada tanggal 10 Juli 1949 kembali lagi ke Yogyakarta. Dalam keadaan yang serba kekurangan dan kondisi fisik yang lemah Jenderal Soedirman terus dan terus berjuang tanpa kenal menyerah.



Foto : Jenderal Sudirman pada saat istirahat dalam perjalanan gerilya via https://en.wikipedia.org/


Bila tidak ditandu,Jenderal Soedirman naik dokar, seperti dari Playen ke desa Semanu. Dari Semanu,Jenderal Soedirman ditandu lagi sampai Bedoyo dan sambung lagi dengan dokar yang lengkap dengan kudanya. Bahkan, bila rutenya jalan raya, rombonganJenderal Soedirman memakai mobil, seperti dari Pracimantoro sampai Wonogiri dan Wonogiri menuju Ponorogo. Mobil itu kiriman Staf Divisi Kolonel Gatot Subroto dari Solo. Namun, bila medannya berat dan tidak bisa ditandu atau digendong,Jenderal Soedirman pun jalan kaki, seperti saat menuju markas Gatot Subroto di Gunung Lawu.

Dengan kembalinya Wonogiri menjadi Swapraja Mangkunegaran sejak saat itu Kabupaten Wonogiri mempunyai status seperti sekarang, dan masuk sebagai Kabupaten yang berada diwilayah Propinsi Jawa Tengah. Berikut adalah nama Bupati Wonogiri setelah masa kemerdekaan :
  1. Soetojo Hardjo Reksono (1946-1948)
  2. R. Danupranoto (1948-1950)
  3. R. Agus Miftah Danoekoesoemo (1950-1953)
  4. Yacop Danoeatmojo (1958-1959)
  5. RM Ng. Broto (1960-1966)
  6. R. SAmino (1967-1974)
  7. KRMH. Soemoharmoyo (1974-1979)
  8. Drs. Agoes Soemadi (1979-1980)
  9. R. Soediharto (1980-1985)
  10. Drs. Oemarsono (1985-1995)
  11. Drs. Tjuk Susilo (1995-2000)
  12. H. Begug Poernomosidi (2000-2010)
  13. H. Danar Rahmanto (2010-2016)
  14. Joko Sutopo (2016-2021)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar